Sabtu, 09 April 2016

INTERPRETASI SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA


“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Demikian ungkapan Soekarno dalam pidato kepresidenannya pada HUT Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1966. Ungkapan yang kemudian dikenal dengan akronim “Jas Merah” tersebut mengingatkan kepada kita untuk senantiasa membaca sejarah, mengkaji dan menelaahnya untuk kemudian mengambil pelajaran darinya. Sebab peristiwa kemanusiaan adalah peristiwa sejarah yang berulang dengan pelaku yang berbeda dan kemungkinan akhir yang berbeda pula. Peristiwa masa lalu adalah sejarah hari ini, dan peristiwa hari ini akan menjadi sejarah di masa depan. Tak ayal untuk menyelesaikan konflik kekinian kita selalu membandingkannya dengan sejarah di masa lalu.

Namun seringkali dalam mengambil hikmah dari sebuah sejarah, cara bertutur sejarah tersebut memengaruhi opini kita. Ketika sudut pandang sejarah itu berubah tentunya turut merubah interpretasi kita atau setidaknya mempengaruhi penilaian akhir kita terhadap sejarah yang sama. Di samping itu, membandingkan kenyataan hari ini hanya dengan satu peristiwa sejarah saja seakan “memaksa” kita membuat kesimpulan bahwa akhir kisah harus sebagaima yang telah tercatat dalam sejarah. Maka ada baiknya juga kita membandingkan sejarah tersebut dengan sejarah yang kondisinya berbeda hingga menambah dan memperkaya pembelajaran yang dapat kita petik darinya.

***
Tiba-tiba saja sejarah pemecatan Khalid Bin Walid oleh Amirul Mukminin Umar Bin Khattab menjadi kisah yang populer dan banyak dituturkan pasca mencuatnya berita pemecatan Fahri Hamzah oleh PKS.  Sejarah memang mencatat bahwa Khalid mengalami dua kali pemecatan oleh Umar.

Pertama, pada tahun ke 13 H ketika Umar baru dilantik sebagai khalifah. Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa setelah Umar Al-Faruq diangkat sebagai khalifah, dia menulis surat kepada Khalid bin Walid. Dalam surat tersebut Umar bin Al-Khattab melarang Khalid bin Walid memberikan kambing atau onta kecuali atas seizinnya. Khalid bin Walid kemudian menulis surat kepada Umar Al-Faruq yang berisi, “Jika engkau menginginkan saya tetap menjabat, maka biarkan saya dalam keadaan seperti ini. Jika tidak, maka terserah engkau melakukan sesuatu sesuai dengan kebijaksanaanmu.”. Umar Bin Khattab pun kemudian memecat Khalid karena suatu kebijakan yang diterapkannya. Dan Khalid pun menerima pemecatannya dengan hati yang lapang. Dia tetap bersedia berperang di bawah komando Abu Ubaidah, penggantinya.

Dan peristiwa kedua terjadi pada tahun 17 H saat Khalid berada di Qisrin. Amirul Mukminin mengetahui bahwa Khalid bin Walid dan Iyadh bin Ghanam melakukan penyerangan terhadap Romawi sampai masuk jauh ke dalam wilayah mereka. Pasukan keduanya membawa harta rampasan perang yang banyak. Setelah itu orang-orang dari berbagai wilayah Syam datang untuk meminta harta rampasan kepada Khalid bin Walid, di antaranya Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Khalid bin Walid memberikan kepadanya 10.000 dirham, dan hal ini diketahui oleh Amirul Mukminin. Dia meminta Abu Ubaidah agar memeriksa Khalid bin Walid tentang sumber harta yang ia berikan kepada Asy’ats. Umar kemudian memberhentikan Khalid bin Walid dari jabatan militer untuk selamanya.
          
Khalid bin Walid diminta datang ke Madinah untuk melakukan pemeriksaan. Ia diperiksa dihadapan Abu Ubaidah. Abu Ubaidah menyerahkan urusan pemeriksaan terhadap kurir Khalifah. Sementara kurir khalifah menyerahkan urusan pemeriksaan kepada mantan budak Abu Bakar. Selesai pemeriksaan terbukti bahwa Khalid bin Walid tidak melakukan suatu kesalahan. Pemberian uang sebanyak 10.000 dirham dari harta rampasan perang terhadap Asy’ats yang dilakukannya sudah sesuai dengan prosedur. Seusai pemecatannya, Khalid bin Walid berpamitan kepada penduduk Syam. Dan yang cukup berat baginya adalah perpisahan antara komandan perang dengan pasukannya.  Di Hadapan orang-orang dia berkata:

Sesungguhnya Amirul Mukminin telah menugaskanku menjadi komandan perang di Syam dan memecatku ketika datang musim panen gandum dan madu.

Kemudian ada seorang lelaki yang bangkit dan berkata kepadanya, “Sabarlah wahai komandan. Sesungguhnya jabatan adalah cobaan.” Khalid bin Walid menjawab, “Selagi Umar bin Al-Khattab masih hidup, saya tidak akan memangku jabatan lagi.

Betapa sikap Khalid bin Walid ini merupakan buah dari keimanan yang kuat. Kekuatan spiritual apa yang mengendalikan diri Khalid bin Walid pada situasi yang demikian kompleks? Dari mana datangnya petunjuk kepada Khalid bin Walid sehingga dia dapat memberikan jawaban yang tenang dan penuh hikmah. Orang-orang pun tenang setelah mendengar jawaban Khalid bin Walid yang berisi tentang dukungannya kepada kebijaksanaan Amirul Mukminin Umar bin Al Khattab. Dengan demikian, mereka mengetahui bahwa komandan mereka yang dipecat bukanlah termasuk dari orang-orang yang mengharap singgasana kebesarannya di atas kekacauan dan revolusi. Dia termasuk orang yang berpikiran untuk menjaga persatuan umat.
Khalid kemudian berangkat ke Madinah menemui Amirul Mukminin. Amirul Mukminin berkata, “Wahai Khalid, sesungguhnya engkau di sisiku sangatlah mulia dan engkau adalah kekasihku.” Umar juga menulis surat yang dikirimkan ke berbagai wilayah sebagai berikut :
Sesungguhnya aku memecat Khalid bin Walid bukan karena aku benci kepadanya atau dia berkhianat. Akan tetapi orang-orang terlalu menghormatinya. Saya khawatir mereka akan menggantungkan kemenangan dalam medan pertempuran terhadap dirinya. Saya juga berharap mereka mengetahui bahwa Allah lah yang memberikan kemenangan. Saya juga berharap supaya mereka tidak tergoda dengan kehidupan dunia.
Maka lihatlah sikap yang ditunjukkan keduanya. Sejarah mencatat keduanya memilih untuk “berdamai” dan menjaga keutuhan jama’ah yang saat itu sedang memasuki masa ekspansi memperluas wilayah kekuasaan. Mereka lebih berfokus pada musuh-musuh di luar dari pada memperkeruh masalah yang mungkin saja sifatnya pribadi. Khalifah Umar sendiri secara terbuka menyampaikan kekhawatirannya terhadap jama'ah bukan terhadap pribadi Khalid. Sedangkan Khalid, sekalipun melontarkan kekecewaannya ia tetap memilih mematuhi perintah sang Khalifah. Tercatat kemudian Khalid menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah lain yang sebelumnya terlupakan beliau karena disibukkan oleh peperangan. Bagaimana dengan jama’ah? Ketenangan yang ditunjukkan oleh kedua tokoh tersebut mampu menenangkan umat hingga tetap berkhidmat kepada kepemimpinan Umar. Tidak terdengar hiruk-pikuk suara perpecahan di tengah umat.
Namun sejarah juga mencatatkan perselisihan lainnya antara pemimpin umat namun dengan akhir yang berbeda. Wafatnya Khalifah Utsman Bin ‘Affan telah membuka pintu fitnah, sementara pengangkatan Khalifah Ali belum minciptakan suasana yang aman. Meskipun Khalifah Ali dipilih kaum muslimin namun ada pihak lain yang kurang setuju atas pengangkatanya yaitu Muawiyyah  bin Abu Sufyan. Muawiyah beralasan atas pengangkatan Ali karena Khalifah Utsman dibunuh secara dholim dan belum di qisos pembunuhnya. Muawiyah mengajukan permintaan pada Ali agar menyerahkan para pembunuh Utsman sebagai syarat bagi setiap tawaran kesepakatan. Kemudian Muawiyah tidak mau mengikuti pengangkatan, dan Muawiyah tidak mau diajak berdamai oleh Ali. Perlawanan ini menyebabkan pecahnya perang Siffin pada 37 H/ 657 M. Semula peperangan ini dimenangkan pihak Ali dibawah pimpinan Malik al-Astar, namun Amr bin Al ’Ash mengusulkan pasukan Muawiyah agar melakukan tipu muslihat dengan mengangkat Al-Qur’an di atas ujung tombak, dan mengajak kelompok Ali kembali pada Al-Qur’an. Mayoritas kelompok Ali tertipu dengan muslihat tersebut, meskipun Ali sudah menasehati supaya bersabar dan melajutkan peperangan serta tidak terkecoh oleh rekayasa politik kelompok Muawiyah.

Dalam hal ini, al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Asqalani (793-852 H/1391-1448 M) berkata: “Hampir saja pasukan Syam menderita kekalahan. Akan tetapi kemudian mereka mengangkat Mushhaf al-Qur’an di ujung tombak sambil berseru kepada kelompok Ali: “Kami mengajak kalian kembali pada kitab Allah.” Akhirnya pasukan Ali meninggalkan peperangan. Lalu diantara mereka saling mengirimkan delegasi juru damai dan siapa yang menurut mereka benar maka harus di ikuti. Ali menerima proses arbitrase dan menerima Abu Musa al-Asy’ari (21 SH-44 H/602-665 M) sebagai perwakilannya. Itulah awal genjatan senjata antara kedua belah pihak.

Pada saat itu juga dari pasukan Ali muncul kelompok aksi menolak terhadap genjatan senjata dan menganggapnya melanggar hukum Al-Quran. Kelompok ini jumlahnya sangat signifikan dan keluar dari kelompok Ali, dikemudian hari disebut kaum Khawarij. Mereka berpendapat Ali dan mereka yang menerima genjatan senjata telah melanggar perintah Allah. Kaum khawrij selalu berusaha merebut massa Islam dari pengikut Ali, Muawiyah dan Amr sebab mereka yakin bahwa ketiga pemimpin ini merupakan sumber pergolakan-pergolakan, sehingga mereka bertekad untuk membunuhnya. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M) salah seorang Khawarij berhasil membunuh ‘Ali di Masjid Kufah.

Peristiwa pemecatan Fahri Hamzah oleh PKS memang belum menjadi sejarah. Peristiwa tersebut saat ini memang masih sebatas dinamika dan warna-warni politik saja. Bagaimana akhir dari dinamika ini bergantung pada pilihan-pilihan sikap pelakunya. Tentu saja kita tidak menginginkan akhir dari peristiwa ini adalah perpepacahan di tubuh PKS. Bagaimana pengaruh peristiwa ini dan implikasinya terhadap jama’ah kader PKS? Maka hanya kekuatan jama’ahlah yang dapat menjawabnya. Tentu ini berpotensi memunculkan perpecahan, namun saya berharap tidak ada yang menjadi khawarij ataupun syi’ah yang melakukan pengkultusan terhadap pribadi dalam masalah ini. Peristiwa ini hanya sebagai ujian kesolidan para kader. Dan kita akan merindukan pribadi yang berkata kepada Khalid “Sabarlah wahai komandan. Sesungguhnya jabatan adalah cobaan.”

Rabu, 24 Februari 2016

AJARKAN MEREKA MENGHADAPI KEGAGALAN

Anak merupakan anugerah yang diberikan Allah SWT yang menuntut adanya pemeliharaan sebaik mungkin. Prinsip utama dalam mendidik mereka adalah menjaga keseimbangan tumbuh jiwa dan raga mereka. Tidak merasa terkekang dalam perhatian kita namun tidak juga merasa terasingkan dalam pengabaian kita. Tidak selalu bergantung pada bantuan kita namun tetap mampu menilai batas kemampuannya sendiri. Tidak jumawa saat ia berhasil namun tidak pula putus asa saat ia gagal.

Anak harus memahami bahwa belum tentu semua keinginannya dapat tercapai sekalipun mereka telah mengupayakan hal tersebut sepenuh kemampuan mereka. Adakalanya kegagalan menghampiri usaha mereka. Orang tua harus bijak mengarahkan putra-putri mereka saat menghadapi kegagalan. Mengajarkan kegagalan pada mereka bukan berarti menjadikan mereka sebagai pribadi yang gagal melainkan mengajarkan kepada mereka sikap yang harus ditempuh saan mendapatinya. Diantara pembelajaran yang bisa disampaikan saat anak-anak menghadapi kegagalan antara lain :

1. Mengajarkan bahwa Allah SWT yang mengatur kehidupan.
Adanya peristiwa kegagalan menegaskan kepada kita bahwa kehidupan ini telah diatur sedemikian rupa oleh Allah SWT. Dengan sifatNya yang Maha Mengetahui sesungguhnya Allah lebih mengetahui kebaikan yang kita butuhkan sekalipun dalam bentuk kegagalan. 

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (TQS. Al-Baqarah : 216)

Dengan pemahaman ini diharapkan anak mengerti bahwa puncak dari setiap usaha yang mereka lakukan adalah tawakkal kepada Allah SWT. Dengan demikian, dalam diri anak akan tumbuh karakter rendah hati, berlapang dada dan terhindar dari sikap berkeluh kesah.

2. Mengajarkan bahwa Kegagalan hanya sebuah peristiwa dan bukan pribadi mereka
Ketika anak menghadapi sebuah kegagalan, maka penjelasan yang harus diberikan orang tua adalah bahwa kegagalan tersebut hanya sebuah potongan peristiwa dari perjalanan kehidupan mereka dan bukan pribadi mereka. Untuk mengembalikan semangat mereka, para orang tua dapat melakukan kilas balik terhadap keberhasilan-keberhasilan yang telah pernah diukir mereka kemudian berilah kesan kita sangat menghargai keberhasilan itu sekalipun itu sebuah keberhasilan kecil saja.

Dengan memberikan pemahaman ini diharapkan keceriaan anak akan segera kembali dan kembali optimis menghadapi kehidupan mereka. Karakter yang bisa ditanamkan dengan pelajaran ini adalah tidak berputus asa saat dihadapkan pada kegagalan dan menumbuhkan pribadi yang mudah bangkit dari kegagalannya.

3. Mengajarkan anak senantiasa mengevaluasi usahanya.
Kegagalan merupakan kesempatan bagi orang tua untuk mengajarkan anak senantiasa mengevaluasi pekerjaannya. Dengan demikian anak akan tumbuh menjadi pribadi yang teliti, tekun dan berhati-hati. Disamping itu, pengajaran ini dapat menumbuhkan kepribadian yang senantiasa ingin mencoba 
lagi dengan cara-cara yang baru. Mereka akan mudah memahami bahwa jika mereka mencoba dengan cara yang sama maka mereka tetap akan menemui kegagalan.

Kegagalan, sekalipun merupakan peristiwa yang tidak menyenangkan sesungguhnya memiliki pengajaran yang sangat berharga bagi perkembangan kepribadian anak jika para orang tua mampu dengan bijak mengajarkannya. 

Sabtu, 13 Februari 2016

BENARKAH SEMUA KARENA CINTA?

Membincangkannya memang tidak akan ada habis-habisnya. Setiap kita tentu ingin senantiasa merasakan kehadirannya. Ketika ia menyapa seakan kita ingin hidup dan menikmatinya selamanya. Namun ketika ia hilang, seakan dunia turut membersamai kehilangnya. Karenanya seorang penakut menjadi berani, seorang yang buta dengan sastra menjadi pujangga, dan seorang yang ramah menjadi pendendam. Ia bisa mengangkat seseorang ke puncak ketaqwaannya, namun juga bisa menjerumuskannya ke lembah fujurnya. Itulah cinta.

Ketika membincangkan kaitannya terhadap perilaku manusia, sebuah pertanyaan mungkin layak kita ajukan. "Benarkah semua karena cinta?" ataukah sebenarnya ia telah "terkontaminasi" sesuatu hingga buah dari cinta itu berbeda?

Seorang suami bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan dalih cinta kepada keluarganya dan ingin membahagiakan mereka kemudian ia melakukan korupsi dan atau sejenisnya. Benarkah itu cinta? Sementara di sisi lain ada seorang suami meninggalkan dan membiarkan istri dan anaknya berjuang hidup di sebuah padang tandus tak berpenghuni. Yang manakah diantara keduanya dikatakan karena cinta?

Orang tua membawa anak gadisnya mengikuti beragam audisi dan reality show bahkan sampai membiarkannya mengumbar aurat demi tujuan kelak sang anak terkenal dan memiliki kehidupan yang berkecukupan. Benarkah itu karena cinta? Sementara ada orang tua yang memingit anak gadisnya bahkan sampai-sampai pemuda yang bekerja untuk mereka tidak pernah mengetahui keberadaan sang gadis hingga orang tua sang gadis menikahkan mereka. Yang manakah dikatakan cinta?

Seorang anak yang bekerja keras sepanjang waktu dengan tujuan membahagiakan orang tuanya hingga akhirnya dirinya tidak memiliki waktu membersamai keduanya semasa hidup ataukah seorang anak yang rela mengorbankan dirinya demi perintah yang diterima sang ayah sekalipun itu lewat mimpi? Yang manakah diantara keduanya yang benar atas nama cinta?

Seorang pemuda yang mengumbar cinta demi sekedar untuk berpegangan tangan, mencium atau mencumbui wanita yang berstatus sebagai pacar yang tidak halal ataukah seorang pemuda yang memilih penjara daripada terjebak dalam bujukan dan rayuan majikan wanitanya? Yang manakah diantaranya karena cinta?

Cinta adalah fitrah manusia. Sebagaimana fitrah yang lain, cinta juga menuntut pemeliharaan dari pemiliknya. Ia bisa menjadi gelombang pasang yang menghantarkan para nelayan melaut, atau bahkan bisa menjadi ombak yang dahsyat yang menghempaskan perahu mereka ke batu karang yang keras. Ia bisa menghantarkan pemiliknya ke puncak kemuliaan, namun bisa pula menjerumuskannya ke lembah kehinaan.

Kebenaran cinta tidak dengan serta-merta bisa dilihat dari keputusan sikap dan perbuatan pemiliknya. Kebenaran cinta hanya dapat diukur dari sebab ia tumbuh, derajatnya (porsinya), cara pembuktiannya hingga kemana akhirnya ia bermuara. Kebenaran cinta bukan dilihat dari pahit manisnya perbuatan yang mengatasnamakan cinta tersebut.

Cinta yang sebenarnya harus tumbuh di atas dasar cinta yang abadi, Cintanya Allah SWT. Ketika kita mampu menempatkan cinta kepada Allah sebagai prioritas cinta, maka tidak akan ada kekhawatiran apapun terhadap tuntutan cinta tersebut. Berlelah-lelah dalam ibadah, menginfakkan harta, atau bahkan mengorbankan diri demi cintaNya merupakan kenikmatan yang tak sebanding dengan apapun di dunia ini.

Cinta yang sebenarnya akan mampu menghimpun beragam cinta sesuai dengan hak cinta tersebut. Ia tidak akan menjadikan dada pemiliknya sesak oleh tuntutan cinta yang lain. Cinta yang sebenarnya akan menata cinta-cinta itu menurut derajat dan kadarnya masing-masing. Cinta yang sebenarnya akan menyalurkan hak-hak cinta yang lain menurut ketentuanNya.

Dan yang terakhir, cinta yang sebenarnya adalah cinta yang kembali bermuara kepada pemilik seluruh cinta, sebab di sisiNya lah terdapat seindah-indah balasan cinta yang kenikmatannya tidak pernah terbetik sedikitpun di benak-bena kita, yaitu surga jannatunnaa'im.

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik" (TQS. Ali-Imran : 14)

Wallahu a'lam bishawwab...

Sabtu, 16 Januari 2016

LINDUNGI AQIDAH DAN MINDSET MEREKA

Salah satu pondasi utama yang dibangun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mendakwahkan islam di tengah para sahabat adalah dimensi aqidah. Maka perhatikanlah sejarah perjalanan dakwah beliau di masa awal kenabian, sebagian besar wahyu yang turun di masa itu mengajarkan tentang membangun aqidah yang benar. Bahkan salah satu alasan larangan memilih pemimpin yang bukan islam adalah demi menjamin terjaganya kemurnian aqidah. Maka wajarlah ketika Luqman mengajarkan tentang kemurnian aqidah ini kepada anak-anaknya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an :

"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya : 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar'." (QS. Luqman : 13)


Aqidah dalam Islam bukan sekedar menghindari kesyirikan. Keyakinan terhadap qadha dan qadar juga termasuk dalam dimensi aqidah. Meyakini wajibnya perintah shalat juga termasuk dalam aqidah, sehingga mereka yang menyepelekan perintah shalat termasuk dalam golongan yang celaka. Demikian pentingnya aqidah ini mengharuskan para orang tua mengajarkannya secara benar kepada anak-anak mereka. Dengan  aqidah yang benar diharapkan tumbuh mindset yang benar pula sebagai generasi muslim.

Belakangan, serial televisi yang diimpor dari luar negeri terutama India semakin ramai menghiasi layar televisi dan digemari sebagian besar generasi kita. Serial ini secara tersirat tentunya juga membawa kultur dan kebiasaan mereka di negeri itu. Di antara serial televisi tersebut ada yang menceritakan kisah tokoh utamanya semenjak kecil hingga dewasa, bahkan ada pula yang menplot bintang film yang masih anak-anak atau remaja sebagai tokoh utamanya dengan konflik cerita dewasa atau konflik yang lazimnya hanya ditemukan di kehidupan dewasa.

Disamping itu, diantara serial ini ada yang ditayangkan pada waktu-waktu dimana para orang tua yang bekerja sulit mengawasi atau mendampingi putra-putri mereka,  sehingga peluang terjadinya penyimpangan-penyimpangan semakin besar dan mungkin. Ditambah lagi durasinya yang ternyata tidak pendek menjadikan remaja-remaja ini tidak produktif dan harus diam terpaku menyaksikan serial kesukaan mereka dalam waktu yang lama.

Penyimpangan pertama yang mungkin terjadi adalah penyimpangan aqidah. Cerita tentang sihir, peri, ruh yang bisa pindah dari jasad yang satu ke jasad yang lain dan mampu berubah-ubah bentuk dalam serial "balveer" serta kata-kata puji-puji dewa yang diucapkan tokoh-tokoh dalam serial "gangga" secara perlahan dan pasti akan memengaruhi pemikiran anak-anak dan remaja islam yang belum memiliki kemampuan memilah dan memilih informasi dengan baik dan benar. Cerita tersebut dapat menggeser dan menggantikan pemahaman yang benar menurut Islam tentang ruh dan sihir. Tentunya hal ini akan mempengaruhi kemurnian aqidah mereka.

Kesalahan berikutnya yang mungkin muncul dalam generasi kita adalah kesalahan mindset. Misalnya dalam serial "uttaran" terdapat kesalahan mindset yang ditampilkan sang tokoh utama yang dengan mudahnya melemahkan kebenaran yang diyakininya dengan bersikap lemah, bahkan karena sikap tersebut dia kemudian melawan orang tuanya.

Serial-serial ini juga cenderung lebih banyak mengumbar niat jahat dan cara-cara licik pemeran antagonisnya demi mencapai keinginannya. Cara-cara seperti mengancam bunuh diri, berpura-pura, hingga mencelakakan orang lain dikhawatirkan akan dicontoh para remaja demi mewujudkan apa yang dikehendakinya atau demi menyingkirkan dan mengalahkan orang yang dalam anggapan mereka menjadi penghalang atas keinginannya tersebut.

Sudah selayaknya para orang tua cermat dan mengawasi apa yang menjadi tontonan anak-anak mereka. Kita harus mampu memilihkan apa-apa yang layak masuk dalam pemikiran mereka demi tegaknya aqidah yang benar dan terbangunnya mindset yang benar pula. Jika segala informasi dapat dengan mudah masuk melalui kotak-kotak televisi kita, maka seharusnya pula kita lebih ketat menjadi sensor-sensornya.